Kamis, 03 April 2008

Permasalahan Yang Timbul Dari E-Commerce

Akhir-akhir ini telah banyak bermunculan berbagai commercial website dan berbagai portal di Internet di Indonesia yang menawarkan berbagai barang dan jasa kepada masyarakat atau para konsumen. Indonesia sampai sekarang belum memiliki undang-undang tentang Internet yang antara lain mengatur transaksi transaksi e-commerce. Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculmya situs http:// www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi.
E-commerce terdiri dari dua kategori business to business e-commerce dan business to consumer e-commerce.
§ Business to consumer e-commerce berhubungan dengan customer life cycle dari awareness sebuah produk pada prospek costumer sampai dengan order dan pembayaran atau juga sampai dengan pelayanan dan dukungan kepada customer. Alat yang digunakan dalam cycle ini adalah business to customer web site.
§ Business to business e-commerce melibatkan cycle dari awareness, riset produk, pembandingan, pemilihan supplier sourching, transaksi fulfillment, post sales support. Alat yang berperan adalah EDI, dan business to business web site (Komputer No. 175 edisi Juli 2000: 4).

BEBERAPA PERMASALAHAN
1.1 Masalah HaKI
Teknologi digital mempermudah duplikasi materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital (digitalized products). Contoh materi yang dapat dikemas dalam bentuk digital adalah produk musik, film (video), karya tulis (buku), dan perangkat lunak (software). Teknologi digital dapat digunakan untuk menggandakan atau membuat copy dari materi tersebut dengan kualitas yang sama dengan aslinya tanpa merusak atau mengurangi sumber aslinya.
Pembajakan kaset, CD (baik dalam format aslinya ataupun dalam format MP3 dimana dalam satu CD dapat diisi dengan ratusan lagu), VCD, buku, dan sotfware marak dilakukan di seluruh dunia, meski yang menjadi sorotan adalah Asia (temasuk Indonesia di dalamnya). Teknologi untuk memproteksi seperti watermarking, dongle, enkripsi, dan sebagainya dicoba dikembangkan. Akan tetapi nampaknya pihak yang melakukan proteksi kalah langkah dengan pihak pembuka (code breakers).
Sudut lain dari masalah HaKI adalah adanya kelompok yang tidak setuju dengan proteksi yang berlebihan sehingga mencoba mengambil pendekatan lain seperti dengan menggunakan jalan public domain, copyleft, GNU Public License (GPL), dan sejenisnya. Cara ini tidak memecahkan masalah yang ada, akan tetapi mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang yang lain. (Jika sudah public domain, maka tidak ada masalah pencurian.)
Kasus yang cukup ramai disoroti adalah kasus perusahaan Napster . Perusahaan ini memberikan layanan untuk mempermudah pengguna Internet dalam tukar menukar file MP3 (lagu). Dalam hal ini, Napster sendiri tidak menyediakan koleksi lagu dalam format MP3 akan tetapi hanya memfasilitasi pertukaran MP3. Namun Napster mendapat tuntutan dari perusahaan rekaman.
1.2 Masalah Nama Domain Internet
Nama domain (misalnya .com) yang digunakan sebagai alamat dan identitas di Internet juga memiliki permasalahan sendiri. Penamaan domain berkaitan erat dengan nama perusahaan dan/atau produk (servis) yang dimilikinya. Seringkali produk / service ini didaftarkan sebagai trademark atau servicemark. Bagaimana aturan pengunaan trademark milik orang lain dalam nama domain?
Masalah nama domain ini cukup pelik dikarenakan di dunia ini ada beberapa pengelola nama domain yang independen. Ada lebih dari dua ratus pengelola domain yang berbasis teritory (yang sering disebut sebagai Country Code Top Level Domain atau ccTLD). Sebagai contoh saya mengelola domain untuk Indonesia (.ID). Bolehkah seseorang mendaftarkan nama domain yang sebetulnya ditrademarkkan di negara lain? Darimana pengelola domain tahu bahwa nama tersebut merupakan trademark yang terdaftar di negara lain?
Kasus pertikaian sudah terjadi seperti contohnya adalah kasus mustika-ratu.com yang diduga didaftarkan oleh kompetitor dari perusahaan Mustika Ratu. Bagaimana juga jika ada yang mendaftarkan dengan nama orang yang terkenal (seperti kasus Julia Roberts.com dan JohnTesh.com)? Apa landasan hukum yang digunakan? Di Amerika Serikat ada “Anti-Cybersquatting Consumer Protection Act” yang ditandatangani oleh presiden Clinton yang mengatakan:
“Any person who registers a domain name that consists of the name of another living person, or a name substantially and confusingly similar thereto, without that person’s consent, with the specific intent to profit from such name by selling the domain name for financial gain to that person or any third party, shall be liable in a civil action by such person”.
1.3 Masalah Perijinan
Di Indonesia, untuk layanan Internet membutuhkan ijin khusus. Internet Service Provider (ISP) atau Penyedia Jasa Internet (PJI) harus mendapatkan lisensi dari Dirjen Postel, Departemen Perhubungan. Di negara lain, seperti di Canada, ISP tidak membutuhkan ijin khusus.
Telekomunikasi di Indonesia masih dimonopoli. Pelanggaran monopoli ini melalui teknologi sudah terjadi melalui penyediaan jasa Voice over IP (VoIP) oleh beberapa orang dan perusahaan. Bahkan, sudah ada kasus penangkapan orang yang menyediakan jasa VoIP. (Dalam pemberitaan surat kabar bahkan disebutkan bahwa orang yang memberikan layanan VoIP tersebut seolah-olah mencuri pulsa PT Telkom.) Layanan VoIP pada prinsipnya adalah mengubah suara (voice) menjadi data dan mengirimkan data ini melalui saluran Internet. Penyedia layanan VoIP berargumentasi bahwa yang dia salurkan adalah data bukan voice oleh sebab itu dia tidak melanggar monopoli Telkom dan Indosat. Pihak pemerintah merasa bahwa yang dikirimkan asalnya berupa voice sehingga sebetulnya merupakan layanan suara (voice) juga. Ini merupakan contoh bahwa teknologi mengubah segalanya. Dalam waktu dekat, tidak hanya voice saja yang dapat dikirimkan dengan real-time akan tetapi juga gambar. Maka akan terjadi Multimedia over IP.
VoIP hanya salah satu teknologi saja. Masih ada teknologi lain seperti Voice over ATM dimana protokol ATM digunakan sebagai pengganti protokol IP. Selain IP dan ATM, masih ada protokol lain seperti IPX (yang banyak digunakan oleh Novell) dan Appletalk (yang banyak digunakan oleh Apple). Apakah nanti akan ada hukum yang mangatur VoATM, VoIPX, VoAppletalk? Hukum seharusnya technology neutral sehingga adanya perubahan teknologi tidak harus mengubah hukum yang ada.
Jika nanti seorang pengguna dapat memberikan layanan broadcasting melalui Internet (Radio Internet dan TV Internet), apakah perlu meminta ijin dari pemerintah? Perlu diingat bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, setiap orang dapat menjadi broadcaster. Lagi-lagi ini masalah perijinan.
Undang-undang anti monopoli diharapkan dapat mengurangi masalah yang timbul. Akan tetapi masih tetap menjadi pertanyaan dalam implementasinya. Monopoli merupakan penghambat kompetisi dan inovasi yang menguntungkan masyarakat (komunitas).
1.4 Masalah privacy
Di Indonesia masalah privacy masih belum menjadi masalah yang besar. Di luar negeri, masalah privacy ini menjadi perhatian utama. Seringkali kita mengisi formulir yang menanyakan data-data pribadi (nama, alamat, tempat tanggal lahir, agama, status, dan sebagainya) tanpa informasi yang jelas mengenai penggunaan data-data ini. Bagaimana jika data-data ini diperjual belikan?
Mengingat perniagaan secara elektronis (e-commerce) mencakup seluruh dunia, maka privacy policy menjadi salah satu kendala perniagaan antar negara. Jika pelaku bisnis di Indonesia tidak menerapkan privacy policy maka mitra bisnis di luar negeri tersebut tidak bersedia melakukan transaksi bisnis. Mereka berkewajiban menjaga privacy dari client atau users mereka.
Masalah lain yang berkaitan akan tetapi mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda adalah masalah confidentiality dan trade secrets.
1.5 Masalah Keamanan
Internet merupakan salah satu produk gabungan teknologi komputer dan telekomunikasi yang sukses. Internet mulai digunakan sebagai media untuk melakukan bisnis dan kegiatan sehari-hari. Yang sering menjadi pertanyaan adalah tingkat keamanan dari teknologi Internet.
Keamanan di Internet sebetulnya sudah pada tahap yang dapat diterima. Hanya hal ini perlu mendapat pengesahan dari pemerintah sehingga pelaku bisnis mendapatkan kepastian hukum.
Identitas seseorang dapat diberikan dengan menggunakan digital signature yang dikelola oleh Certification Authority (CA). Masalahnya tanda tangan digital ini belum dapat dianggap sebagai bukti yang sah meskipun sebetulnya tingkat keamanannya cukup tinggi. Di beberapa negara, hal ini sudah diakomodasi dalam bentuk “Digital Signature Act”.
Kejahatan yang ditimbulkan dengan teknologi komputer dan telekomunikasi perlu diantisipasi. Istilah hacker , cracker, cybercrime mulai sering
Namun sayangnya, dalam konteks hukum Indonesia, ketegasan hubungan hukum itu belumlah diatur. Pembayaran mutlak Misalnya saja dalam permasalahan pembayaran transaksi e-commerce yang menggunakan charge card atau credit card. Dari sini timbul permasalahan hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card/credit card merupakan pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang? Permasalahan itu muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge card/credit card miliknya dengan berbagai alasan. Misalnya, karena alasan barang yang dibeli mengandung cacat, ataupun karena alasan nomor kartu kredit tersebut dipergunakan oleh orang yang tidak berhak dengan cara membelanjakannya di berbagai virtual store di internet.

Salah satu yang perlu dijadikan perhatian adalah masalah keamanan situs E-Commerce tersebut. Keamanan menjadi sangat penting, dikarenakan situs E-Commerce sering dijadikan sasaran kejahatan internet, terutama masalah “Fraud”. Apabila dipersempit kembali permasalahannya, maka yang menjadi inti adalah adanya pencurian data (konsumen) pribadi seperti alamat dan nomor kartu kredit yang nantinya dipergunakan untuk melakukan kejahatan internet seperti “Carding”. Karena telah ditemukan pula warnet-warnet di daerah yogyakarta dan depok yang menyediakan beberapa nomor kartu kredit ilegal yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi via internet, sehingga perlu dipertanyakan kejelasan dari keamanan sistem e-commerce itu sendiri

Dalam praktek perdagangan elektronik (e-commerce), walaupun kita belum mempunyai undang-undang yang mengatur secara langsung persoalan e-commerce ini, tapi kita bisa lihat, ternyata ada beberapa undang-undang yang dapat dikaitkan dengan transaksi jenis ini seperti UU Perlindungan Konsumen (Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) yang bisa kita pakai untuk melindungi pihak pembeli (konsumen). Namun menurut Edmon Makarim, salah seorang pakar Hukum Telematika, salah satu kelemahan penggunaan UU Perlindungan Konsumen untuk melindungi pihak pembeli (konsumen) dalam transaksi e-commerce adalah hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Jadi walaupun belum menjangkau e-commerce secara keseluruhan tetapi untuk perusahaan yang jelas alamat dan kedudukannya (di Indonesia), bila si pelaku usaha tersebut melakukan wanprestasi maka ia tetap dapat dituntut menurut hukum Indonesia.

Beberapa permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce, antara lain:

1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;
4. mekanisme peralihan hak;
5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tanan digital sebagai alat bukti .
7. mekanisme penyelesaian sengketa;

8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.Di sisi konsumen, bahaya situs palsu akan selalu membayangi mereka. Mereka tidak memiliki “tanda” bahwa situs terkait benar-benar “berbisnis” atau hanya penipuan, termasuk pencurian data, kartu kredit terutama. RUU ITE sebaiknya juga mengatur situs E-Commerce ini, bukan hanya RUU ITE, tetapi juga diperlukan suatu perangkat hukum yang bersifat universal dan trans nasional.

Untuk pengaturan e-commerce kita menerapkan KUHPer secara analogi, dimana terhadap ketentuan-ketentuan dari e-commerce diterapkan ketentuan dari Buku II tentang Hukum Perikatan dan KUHDagang). Dalam KUHPerdata ditentukan bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (ps.1313 KUHPer). Untuk sahnya suatu kontrak maka kita harus melihat kepada syarat-syarat yang diatur di dalam ps.1320 KUHPer yang menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:

i. kesepakatan para pihak;
ii. kecakapan untuk membuat perjanjian;
iii. suatu hal tertentu; dan
iv. suatu sebab yang halal.

Masalah lain yang dapat timbul berkaitan dengan dokumen elektronik dan digital signature ini adalah masalah cara untuk menentukan dokumen yang asli dan dokumen salinan. Berkaitan dengan hal ini sudah menjadi prinsip hukum umum bahwa:
a. dokumen asli mestilah dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian;
b. dokumen asli hanya ada satu dalam setiap perjanjian;
c. semua reproduksi dari perjanjian tersebut merupakan salinan.

Di Indonesia, perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam e-commerce. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui internet tidak cukup tercover dalam UUPK tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak konsumen sebagai pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi e-commerce dapat terjamin.
Dalam hal tidak dicantumkannya pilihan hukum dalam perjanjian e-commerce nya, ada beberapa teori yang berkembang untuk menentukan hukum mana yang digunakan/berlaku, diantaranya:
1. Mail box theory (Teori Kotak Pos)
Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum di mana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Untuk ini diperlukan konfirmasi dari penjual. Jadi perjanjian atau kontrak terjadi pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tawaran tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mail box).
2. Acceptance theory (Teori Penerimaan)
Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Jadi hukumnya si penjual.
3. Proper Law of Contract
Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya, bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia, kemudian mata uang yang dipakai dalam transaksinya Rupiah, dan arbitrase yang dipakai menggunakan BANI, maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.
4. The most characteristic connection
Hukum yang dipakai adalah hukum pihak yang paling banyak melakukan prestasi.

KESIMPULAN

Dikarenakan rentannya suatu situs E-Commerce yang menyimpan data-data sensitif konsumen terhadap serangan pembajakan atau pencurian informasi tersebut, maka diperlukan suatu standarisasi terhadap situs E-Commerce yaitu:
1. Perlunya suatu Scripts/aplikasi E-Commerce dengan standar mutu yang peredarannya diawasi suatu badan tertentu.
2. Syarat penggunaan Server untuk situs-situs E-Commerce, minimal adalah “Shared Account” yang dikhususkan bagi situs-situs E-Commerce.
3. Perlunya standar keamanan server yang dilakukan atau diaudit oleh pihak ketiga dan pencantuman logo-logo dari perusahaan auditor sebagai bukti bahwa situs E-Commerce tersebut menggunakan jasa layanan dari perusahan auditor tersebut. Hal ini untuk memudahkan konsumen untuk menilai standar keamanan situs tersebut.
4. Penggunaan “Merchant Account” dan “Payment Gateway” pihak ketiga sangat disarankan bagi situs-situs E-Commerce terutama untuk:
a. Konsentrasi pengumpulan data yang lebih terpusat sehingga memudahkan pengawasan.
b. Minimalisasi resiko pengelola situs E-Commerce dan mengurangi biaya.

Untuk mengatur semua itu, diperlukan suatu dasar hukum/perangkat hukum yang menunjangnya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi sesuatu yang lebih luas/trans nasional. Sebagai langkah awal, RUU ITE bisa dijadikan sebagai landasan bagi pengaturan situs-situs E-Commerce yang dimiliki oleh warga Indonesia. 23 Juni 2006. (Writer: http://sevenstairways.com/)

REFERENSI

 http:/file://localhost/G:/ecommerce/[Warnet2000]%20UU%20PPh%20dan%20kegiatan%20usaha%20melalui%20e-commerce%20(2).html
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/Hukumonline.com.htm
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/IT%20Legal%20Instant. htm
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/klinik_detail.asp.htm
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/paper027.htm
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/Solusihukum.com%20_.%20Artikel%20__%20Perlindungan%20Konsumen%20Dalam%20E-Commerce.htm
 http:/file://localhost/G:/ecommerce/viewpage.php.htm
 http:/www.STADTAUS.com
 http://www.napster.com

Tidak ada komentar: